Friday 14 December 2012

Ketika Turun Gunung, Ia Hilang di Kaki Langit



Tidak ada kerangka tahun pasti, yang menyebutkan sejak kapan manusia mulai memandang sesuatu yang lebih tinggi daripada tengkorak kepalanya sendiri. Manusia memang secara kodrati , tercipta sebagai makhluk yang punya kecenderungan iblis untuk memandang makhluk lainnya sebagai sesuatu yang lebih rendah dari dirinya ( ketika manusia tak lagi menyelenggarakan pelaksanaan prinsip kemanusiaannya, ia memang merupakan iblis yang berdaging, bertulang, dan berdarah.

Manusia, bagaimana pun juga merupakan suatu makhluk yang diciptakan paling disempuranakan sebab selain ia berbahasa, manusia juga merupakan sebuah kosakata yang paling terbagus untuk dikalimatkan pada arti tertinggi. Jadi apakah ada yang paling tinggi derajatnya daripada manusia pada peradaban ? mungkin tidak , bila manusia berpihak padajawaban negative.

Pasti ya, bila manusia berada pada sisi jawaban positif. Manusia mulai mengalami pembelajaran untuk memandang sesuatu yang lebih tinggi (derajatnya?) dari dirinya ketika ketakutan menjadi suatu rasa baru yang sangat mengganggu. Bayi yang ketakutan akan menangis untuk memanggil perlindungan ibunya. Sosok ibu, lebih tinggi derajatnya daripada bayi. Ketika kita menjadi kanak-kanak ia juga melibatkan bapaknya sebagai tameng untuk semua ketakutan. Ketika menjadi anak muda dan dewasa, ketakutan juga semakin meraksasa.

Di sini, perlindungan diri, menjadi sesuatu yang mengambang. Kedewasaan adalah usia perlindungan yang gamang. Lalu apa yang terjadi, ketika justru para orangtua yang dibawahi ketakutan ? "Pada mulanya ,ketakutanlah yang menciptakan dewa-dewi di dunia " demikianlah pepatah yunani memberikan jawaban. 

Orang-orang tua (tetua) kemudian memohon pertolongan para dewa yang bersemayam di batu dan pohon besar untuk meminimalkan setiap serangan ketakutan.tapi lama kelamaan, manusia kurang puas terhadap perlindungan para dewa dewi, bagaimana pun juga, manusia sanggup memanjat pohon besar atau  menaiki batu sebesar apapun. Jika tempat tinggal dewa telah berhasil dirambah tentu dewa tersebut, tidaklah lebih tinggi derajatnya daripada manusia.

Disinilah manusia kemudian menengadah ke tempat yang lebih tinggi dari alamat dewa yang selama ini menjadi " KOTAK SUARA BERDOA" pilihannya adalah gunung. Tentu para dewa dan dewi sana memiliki kemampuan, setinggi tempat mereka bersemayam.

Menurut Gilbert Muray, pemikiran spiritual awal bermula di yunani. Pertama kali manusia berada pada zaman primitive atau EUTHEIA. Sebuah zaman ketidak tahuan yaitu ketika dewa Zeus belum datang menggoncang pikiran vertikal manusia (menurut para antropolog dan peneliti lainnya, keadaan ini juga ditemukan hampir di seluruh dunia).

Pada zaman itu, ketakutan seperti penyakit tanpa sebuah resep obat yang memungkinkan sebagai jalan penyembuh. Namun sisi positifnya, ketakutan ini menjadi bahan mentah potensial untuk menghasilkan produk agama.

Zaman ketidaktahuan berlalu ketika warga yunani yang umumnya hidup didaerah perbukitan mulai berpikir bahwa setiap kali mereka berada di tanah tinggi perbukitan  selalu saja ada keterpakuan  pada sebuah tempat yang lebih dari semua tempat yang mereka pijak. Tempat itu adalah gunung Olympus. Dalam pandangan mereka tak ada lagi yang lebih tinggi daripadanya. Bahkan awan pun hanya sesekali melewati puncaknya.

Kemudian muncullah proses selanjutnya yang oleh muray disebut sebagai "Menaklukkan Olympia". Istilah ini tidak menunjuk pada suatu pendakian fisik yang sekedar hendak menaklukkan Olympus. Namun sebenarnya merupakan pendakian spiritual untuk menaklukkan diri sendiri dan megatasi bahaya laten ketakutan, yang selalu membuat depresi dan stress. Dari Olympus inilah dewa zeus, menemui dan menganugerahkan kepada mereka pengetahuan transedental. Pendakian yang meletihkan fisik dan mental tak berlalu sia-sia.

Dari penjelasan antropolog Gilbert Muray dapat dikemukakan tentang misi suci manusia ketika pertama kali mendaki gunung. Mereka ternyata mendaki untuk menaklukkan diri sendiri dan juga untuk mengetahui ada kebenaran apa di atas sana. Mereka mendaki untuk kelanggengan moralitas, kelangsungan Etika Kemanusiaan yang lebih besar . 

Demi ide-ide intelek abadi dari idealisme dan sekaligus mempertanyakan peradaban kepada Sang Yang Maha Tinggi. Setelah sekian banyak abad berlalu, pendakian versi Olympia, nyaris sudah tak ada lagi. 

Di Indonesia, bahkan hanya seorang anak muda yang ternyata pernah melakukannya. Anak muda yang pendaki gunung (pencinta alam) itu, bagai menyertakan intelektualitas seorang pemikir kritis dan radikal maupun idealisme seorang filsuf dalam setiap perlangkahan jejak kakinya. 

Karena ia mendaki gunung demi menjawab sendiri pertanyaan-pertanyaan krusial tentang kondisi social, politik dan budaya Indonesia saat itu (era enam puluhan) jawaban-jawaban yang didapatkannya akhirnya harus ditukar dengan selembar catatan nyawanya . Kematiannya juga merupakan kematian ala yunani.

Persis seperti mereka yang mati muda ketika mendaki gunung Olympus. Kematian dalam meniti deretan tangga nirwana menuju terminal terakhir. Anak muda itu "SOE HOK GIE" menyelesaikan halaman terakhir riwayat hidupnya dalam usia singkat. Namun ia tetap merupakan anak muda yang melegenda karena pemikiran kritisnya terus dikembangkan oleh mereka yang telah mendapat pencerahan bermula.  

Lalu terhadap anak muda yang sekarang ini, ramai mendaki gunung. Apa sebenarnya yang mereka cari? Mereka yang mendaki gunung itu, lebih banyak didominasi oleh anak-anak muda yang tak punya daya kritis intelektual, hampa dari jawaban moralitas dan nihil dari peradaban idealisme bahkan jauh dari pertanggungjwaban spiritual.

Mereka lebih banyak berhias dengan asesoris etnik, kerombengan berpakaian dan keacuhan dengan sikap peduli yang minim. Ketika mendaki gunung, tak ada sedikit pun masa lalu yang mereka tuliskan di peradaban kemahasiswaan (jika mereka mahasiswa), tak ada sejarah masa muda yang mereka guratkan pada hari yang berlalu bahkan tak ada satu pun huruf-huruf yang menorehkan tentang jati diri mereka. 

Mereka adalah anak-anak muda yang kosong dan dengan identitas tak berisi apa-apa. Terhadap mereka, tak perlu mengkalkulasi jumlah tetes air keringat dari titik nol sebab mereka bukan bagian dari angka-angka kerja keras dan tidak masuk hitungan apa pun. Kalaupun harus memasuki fungsi matematik, mereka hanya bisa dikali nol.

Pendakian anak-anak muda itu, hanya bagian dari hegemoni aktifitas rekreatif (rekreatif di sini bukan dalam pengertian re-kreatif atau mencipta kembali. Maksudnya di sini adalah mendapatkan kesementaraan dalam bersenang-senang). Sebuah kegiatan yang melewatkan masa muda sebagai keletihan usia belaka. 

Residu keletihan tanpa janji terhadap masa lalu, masa sekarang apalagi masa depan. Mereka seperti  menyelenggarakan kesia-siaan untuk dirinya dan masa depannya. Kesia-siaan itu, tidak hanya akan mencekik jalan nafas.

Tak ada lagi huruf besar untuk menegaskan tentang bagaimana sebuah kalimat kehidupan harus diperjuangkan. Pendakian gunung dalam prosesi aktifitas rekreatif, hanya berasa pada keindahan belaka. Tapi untuk apa keindahan itu? Bila angin gunung pun, tidak pernah kita mengerti, kemana ia pergi mengembara. 

Mengapa embun selalu tergesa-gesa berkemas, padahal cahaya matahari belum datang memberi jemputan? Juga untuk apa kabut datang menyelimuti punggung pegunungan, diantara es menggigil yang membekukan tanah rebah saat dini hari yang terlelap.

Sebaiknya anak-anak muda  itu, berpaling kepada apa yang dikemukakan oleh Ernest Hemmingway "Dunia ini penuh keindahan dan membutuhkan  perjuangan". Saya sepakat dengan yang kedua tapi bila hanya untuk mendaki gunung apa sebenarnya yang akan diperjuangkan? Dan tentang apa yang mesti disepakati?

Pergaulan dengan nuansa romantik dan keindahan gunung, tak menyediakan sedikit pun makna, tujuan dan pertanggungjawaban bahkan tak ada pertanyaan. Kalau untuk sebuah makna juga nihil dan tiada tujuan. Maka bila anak-anak muda itu, akhirnya turun gunung. Pasti akan lenyap tidak tersisa di kaki langit.

Mereka  bukan lagi siapa-siapa dan tak ada yang merasa kehilangan untuk kepergian yang letih. Dengan demikian sudah tertutup segala pertanyaan. Begitu juga tanda seru pertanggungjawaban untuk masa muda yang sia-sia waktu.

No comments:

Post a Comment