Friday, 8 February 2013

Pesan Damai dari Lembah Wahyu

   
     Pada suatu kesempatan di majelis, salah seorang santri bertanya kepada sang Kyai, "Wahai Kyai, ceritakan kepada kami, manakah yang lebih utama antara isi ataukah gelasnya?"
    
     Mendengar pertanyaan tersebut sang Kyai tersenyum. Sebab, bagi sebagian orang menganggap pertanyaan semacam itu adalah pertanyaan konyol, namun bagi orang yang melihatnya dengan Bashirah, Hati yang jernih maka pertanyaan itu adalah pertanyaan yang dalam dan penuh hikmah. Disamping itu pada kesempatan lain, Kyai juga pernah mendapat pertanyaan yang senada yakni, "Manakah yang lebih utama, meniru perilaku Rasul ataukah mengikuti sunnah Rasullulah SAW".

     Dengan suara lembut dan berbahasa santun, diiringi inotasi naik turun, sang Kyai bertutur bahwa,

 "Hidup ini diawali dengan niat yang baik dan kesungguhan untuk mewujudkannya". 
    
     Bila engkau merasa kehausan, maka tentu airlah yang paling utama bagimu. Engkau tidak akan memperdulikan apa gelas yang menampungnya. Bila engkau merasa tidak membutuhkan isinya, maka tentu menjadi gelas sebagai tujuan utamanya.

     Perihal mengenai apa arti dari gelas? Ketahuilah sesungguhnya ia ditentukan oleh apa isi di dalamnya, Bila ia dituangi susu, berubahlah menjadi segelas susu. Bila didalamnya dituangi air kopi, berubah pula namanya menjadi segelas kopi. Gelasnya itu-itu juga, tetapi namanya berubah tergantung isinya.

     Mungkin engkau akan melihat gelas yang indah bentuknya, terukir kaligrafi dan sanjungan yang harganya melangit. Tetapi terhadapnya engkau isi racun, maka jadinya segelas racun. Betapa pun indahnya penampilan gelas, tak akan ada satu pun orang yang mau meminumnya karena ia adalah racun.

     Begitu juga dengan makna mempraktekan sunnah Rasul. Mempraktekan sunnah Rasul bukanlah meniru tampilan fisik Nabi Muhammad SAW. Menjalankan sunnah Rasul, bukanlah dengan mengikuti budaya Nabi Muhammad yang berasal dari Arab, melainkan menimba keteladanan Nabi Muhammad SAW, dengan mengikuti pola pikir dan cara Nabi dalam menghadapi masalah dengan tetap menjaga kesantunan di hadapan Allah dan sopan terhadap sesama yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari, diantaranya :

  • Pertama, Merangkul semua pihak yang berbeda pandangan, kenyataan dan agama. Merangkul etnis dan suku-suku yang berbeda. Mereka semua diajak untuk setia terhadap kehidupan damai bersama, hidup yang saling menebarkan salam, saling menciptakan perdamaian dan jangan ada yang saling mengkhianati. Kita pada hakekatnya adalah umat yang satu. 

" Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus" 
(QS.2:213).

" Pandangan boleh berbeda, pikiran tidak boleh sama, tetapi jangan sampai terjadi perselisihan dan pertikaian. Karena, perselisihan dan pertikaian akan melemahkan persatuan dan bahkan menjerumuskan bangsa pada jurang kehancuran."

  • Kedua, Membiarkan sesuatu yang positif dan bermanfaat dalam kehidupan. Apabila sesuatu itu positif dan bermanfaat bagi kehidupan beliau malah melestarikannya. Misalnya, ketika ada orang-orang Yahudi mengotong jenazah dan beliau sedang duduk bersama sahabat-sahabatnya di pinggir jalan. Dengan serta merta Nabi berdiri dan memberikan hormat. Sampai-sampai para sahabat heran pada waktu itu. Lha wong sudah tau kalau itu jenazah orang Yahudi, koq masih dihormati. Akhirnya Nabi menjelaskan bahwa pada perinsipnya bukan menghormati jenazah tapi menghormati orang-orang yang hidup.

     Suatu hari, Nabi berjumpa dengan beberapa orang Yahudi yang berpuasa sunnah yaitu puasa pada tanggal 10 Muharram(Syura). Nabi bertanya pada mereka tentang alasan mereka berpuasa pada hari itu. Mereka menjelaskan bahwa pada hari itu merupakan selamatnya penyebrangan Nabi Musa AS bersama kaumnya dari kejaran tentara fir'aun. Maka, Nabi menyatakan kepada mereka bahwa dirinya lebih berhak untuk menjalankan ibadah puasa sunnah tersebut.

     Dengan kata lain jadikanlah akhlak sebagai isinya dan tubuh sebagai bungkusnya. Bila engkau tak sempat mengemasnya dengan baik, tidaklah mengapa. Selama engkau menunjukkan akhlak yang terpuji. Bukan wujud tubuhmu tetapi bagaimana prestasi dan akhlakmu. Bukankah Allah SWT tidak memandang bentuk tubuh dan wajahmu, melainkan Dia memandang apa yang ada dalam hatimu.

" Innallaha layandzuru ilaa ajsamikum wala ila suwarikum, walakin yandzuru ila qulubikum wa a'malikum"(Al-hadits).

     Meski demikian, agama ini mengajarkan kepada kita agar kedua-duanya seiring sejalan. Kemasalah keadaan tubuhmu karena bagi orang pada umumnya, akan melihat terlebih dahulu pada kemasanya. Bagaimana engkau akan menjual minyak penyubur rambut bila kepalamu botak. Bagaimana tokomu akan dikunjungi pembeli juka pajangan etalasenya berantakan.

     Sesungguhnya di dalam segala hal selalu ada tiga hal yang harus di tafakuri dengan hati yang jernih yaitu niat (Motivasi), alat yang tepat dan isinya yang bermanfaat.

     Betapa pun isi dan tempatnya memenuhi persyaratan syariat di hadapan Ilahi, niat atau motivasi batin yang ada di dalam hati yang menjadi ukuran nilainya. Karena sesungguhnya niat merupakan kesadaran yang bersumber dari keyakinan yang dijadikan landasan dalam melaksanakan segala sesuatu.

     Demikian juga dalam hal beragama, Allah SWT menyuruh kita untuk menyelami, mengambil i'tibar apa sesungguhnya substansi makna yang tersirat dibalik yang tersurat. Makna terdalam dari makna yang terlihat. Melihat yang batin dari yang lahir. Melihat sebab dari akibat. Melihat tujuan dari tindakan.

     Ajaran kasih sayang misalnya, yang merupakan cerminan paling dasar dari sifat Allah, sebagaimana termaktub di dalam kalimat Bismillahirrohmanirrohim, merupakan sendi utama nilai-nilai kemanusiaan, kebenaran, keadilan, solidaritas, kemudahan, keseimbangan dan keberadaban. Salah satu kunci suksesnya dakwan Rasulullah SAW adalah karena sikap dan sifat beliau yang penuh kasih sayang. Misi kerasulan beliau adalah sebagai rahmat kasih sayang bagi semesta alam.

     " Menebarkan kasih sayang itu laksana menebar wewangian yang tidak hanya mendatangkan manfaat bagi pemakainya, tetapi juga orang-orang yang berada di sekitarnya".

     Secara psikologis, manfaat dari kebajikan itu terasa seperti obat yang manjur yang tersedia di apotik orang-orang yang berhati baik dan bersih.


" Menebar senyum manis kepada orang-orang yang 'miskin akhlak' merupakan sedekah jariyah. Ini tersirat dalam tuntunan akhlak yang berbunyi, "...meski engkau hanya menemui saudaramu dengan wajah yang berseri". (Al-hadits)

     Dimana pun kasih sayang itu berada, ia akan menghiasi tempat itu. Demikian halnya tatkala ia dicabut dari suatu tempat, ia akan mengotorinya. Kasih sayang yang berupa kelembutan tutur kata, senyuman tulus di bibir dan sapaan-sapaan hangat yang terpuji saat berjumpa merupakan hiasan-hiasan yang selalu di kenakan oleh orang-orang yang berakhlak mulia. Sedang kemuraman wajah merupakan tanda tercabutnya kedamaian dalam kehidupan.



No comments:

Post a Comment