Tidak ada kerangka tahun pasti,
yang menyebutkan sejak kapan manusia mulai memandang sesuatu yang lebih tinggi
daripada tengkorak kepalanya sendiri. Manusia memang secara kodrati , tercipta
sebagai makhluk yang punya kecenderungan iblis untuk memandang makhluk lainnya
sebagai sesuatu yang lebih rendah dari dirinya ( ketika manusia tak lagi
menyelenggarakan pelaksanaan prinsip kemanusiaannya, ia memang merupakan iblis
yang berdaging, bertulang, dan berdarah.
Manusia, bagaimana pun juga
merupakan suatu makhluk yang diciptakan paling disempuranakan sebab selain ia
berbahasa, manusia juga merupakan sebuah kosakata yang paling terbagus untuk
dikalimatkan pada arti tertinggi. Jadi apakah ada yang paling tinggi derajatnya
daripada manusia pada peradaban ? mungkin tidak , bila manusia berpihak padajawaban
negative.
Pasti ya, bila manusia berada
pada sisi jawaban positif. Manusia mulai mengalami pembelajaran untuk memandang
sesuatu yang lebih tinggi (derajatnya?) dari dirinya ketika ketakutan menjadi
suatu rasa baru yang sangat mengganggu. Bayi yang ketakutan akan menangis untuk
memanggil perlindungan ibunya. Sosok ibu, lebih tinggi derajatnya daripada
bayi. Ketika kita menjadi kanak-kanak ia juga melibatkan bapaknya sebagai
tameng untuk semua ketakutan. Ketika menjadi anak muda dan dewasa, ketakutan
juga semakin meraksasa.
Di sini, perlindungan diri,
menjadi sesuatu yang mengambang. Kedewasaan adalah usia perlindungan yang
gamang. Lalu apa yang terjadi, ketika justru para orangtua yang dibawahi
ketakutan ? "Pada mulanya ,ketakutanlah yang menciptakan dewa-dewi di
dunia " demikianlah pepatah yunani memberikan jawaban.
Orang-orang tua
(tetua) kemudian memohon pertolongan para dewa yang bersemayam di batu dan
pohon besar untuk meminimalkan setiap serangan ketakutan.tapi lama kelamaan,
manusia kurang puas terhadap perlindungan para dewa dewi, bagaimana pun juga, manusia
sanggup memanjat pohon besar atau
menaiki batu sebesar apapun. Jika tempat tinggal dewa telah berhasil
dirambah tentu dewa tersebut, tidaklah lebih tinggi derajatnya daripada
manusia.
Disinilah manusia kemudian
menengadah ke tempat yang lebih tinggi dari alamat dewa yang selama ini menjadi
" KOTAK SUARA BERDOA" pilihannya adalah gunung. Tentu para dewa dan
dewi sana memiliki kemampuan, setinggi tempat mereka bersemayam.
Menurut Gilbert Muray, pemikiran
spiritual awal bermula di yunani. Pertama kali manusia berada pada zaman
primitive atau EUTHEIA. Sebuah zaman ketidak tahuan yaitu ketika dewa Zeus
belum datang menggoncang pikiran vertikal manusia (menurut para antropolog dan
peneliti lainnya, keadaan ini juga ditemukan hampir di seluruh dunia).
Pada
zaman itu, ketakutan seperti penyakit tanpa sebuah resep obat yang memungkinkan
sebagai jalan penyembuh. Namun sisi positifnya, ketakutan ini menjadi bahan
mentah potensial untuk menghasilkan produk agama.
Zaman ketidaktahuan berlalu
ketika warga yunani yang umumnya hidup didaerah perbukitan mulai berpikir bahwa
setiap kali mereka berada di tanah tinggi perbukitan selalu saja ada keterpakuan pada sebuah tempat yang lebih dari semua
tempat yang mereka pijak. Tempat itu adalah gunung Olympus. Dalam pandangan
mereka tak ada lagi yang lebih tinggi daripadanya. Bahkan awan pun hanya
sesekali melewati puncaknya.
Kemudian muncullah proses
selanjutnya yang oleh muray disebut sebagai "Menaklukkan Olympia".
Istilah ini tidak menunjuk pada suatu pendakian fisik yang sekedar hendak
menaklukkan Olympus. Namun sebenarnya merupakan pendakian spiritual
untuk menaklukkan diri sendiri dan megatasi bahaya laten ketakutan, yang selalu
membuat depresi dan stress. Dari Olympus inilah dewa zeus, menemui dan
menganugerahkan kepada mereka pengetahuan transedental. Pendakian yang
meletihkan fisik dan mental tak berlalu sia-sia.
Dari penjelasan antropolog
Gilbert Muray dapat dikemukakan tentang misi suci manusia ketika pertama kali
mendaki gunung. Mereka ternyata mendaki untuk menaklukkan diri sendiri dan juga
untuk mengetahui ada kebenaran apa di atas sana. Mereka mendaki untuk
kelanggengan moralitas, kelangsungan Etika Kemanusiaan yang lebih besar .
Demi ide-ide intelek abadi dari
idealisme dan sekaligus mempertanyakan peradaban kepada Sang Yang Maha Tinggi.
Setelah sekian banyak abad berlalu, pendakian versi Olympia, nyaris sudah tak
ada lagi.
Di Indonesia, bahkan hanya seorang anak muda yang ternyata pernah
melakukannya. Anak muda yang pendaki gunung (pencinta alam) itu, bagai
menyertakan intelektualitas seorang pemikir kritis dan radikal maupun idealisme
seorang filsuf dalam setiap perlangkahan jejak kakinya.
Karena ia mendaki
gunung demi menjawab sendiri pertanyaan-pertanyaan krusial tentang kondisi
social, politik dan budaya Indonesia saat itu (era enam puluhan)
jawaban-jawaban yang didapatkannya akhirnya harus ditukar dengan selembar
catatan nyawanya . Kematiannya juga merupakan kematian ala yunani.
Persis seperti mereka yang mati muda ketika
mendaki gunung Olympus. Kematian dalam meniti deretan tangga nirwana menuju
terminal terakhir. Anak muda itu "SOE HOK GIE" menyelesaikan halaman
terakhir riwayat hidupnya dalam usia singkat. Namun ia tetap merupakan anak
muda yang melegenda karena pemikiran kritisnya terus dikembangkan oleh mereka
yang telah mendapat pencerahan bermula.
Lalu terhadap anak muda yang sekarang ini, ramai mendaki gunung. Apa
sebenarnya yang mereka cari? Mereka yang mendaki gunung itu, lebih banyak
didominasi oleh anak-anak muda yang tak punya daya kritis intelektual, hampa
dari jawaban moralitas dan nihil dari peradaban idealisme bahkan jauh dari
pertanggungjwaban spiritual.
Mereka lebih banyak berhias
dengan asesoris etnik, kerombengan berpakaian dan keacuhan dengan sikap peduli
yang minim. Ketika mendaki gunung, tak ada sedikit pun masa lalu yang mereka
tuliskan di peradaban kemahasiswaan (jika mereka mahasiswa), tak ada sejarah
masa muda yang mereka guratkan pada hari yang berlalu bahkan tak ada satu pun
huruf-huruf yang menorehkan tentang jati diri mereka.
Mereka adalah anak-anak
muda yang kosong dan dengan identitas tak berisi apa-apa. Terhadap mereka, tak
perlu mengkalkulasi jumlah tetes air keringat dari titik nol sebab mereka bukan
bagian dari angka-angka kerja keras dan tidak masuk hitungan apa pun. Kalaupun
harus memasuki fungsi matematik, mereka hanya bisa dikali nol.
Pendakian anak-anak muda itu,
hanya bagian dari hegemoni aktifitas rekreatif (rekreatif di sini bukan dalam
pengertian re-kreatif atau mencipta kembali. Maksudnya di sini adalah
mendapatkan kesementaraan dalam bersenang-senang). Sebuah kegiatan yang
melewatkan masa muda sebagai keletihan usia belaka.
Residu keletihan tanpa
janji terhadap masa lalu, masa sekarang apalagi masa depan. Mereka seperti menyelenggarakan kesia-siaan untuk dirinya
dan masa depannya. Kesia-siaan itu, tidak hanya akan mencekik jalan nafas.
Tak ada lagi huruf besar untuk menegaskan tentang bagaimana sebuah kalimat kehidupan
harus diperjuangkan. Pendakian gunung dalam prosesi aktifitas rekreatif, hanya
berasa pada keindahan belaka. Tapi untuk apa keindahan itu? Bila angin gunung
pun, tidak pernah kita mengerti, kemana ia pergi mengembara.
Mengapa embun
selalu tergesa-gesa berkemas, padahal cahaya matahari belum datang memberi
jemputan? Juga untuk apa kabut datang menyelimuti punggung pegunungan, diantara
es menggigil yang membekukan tanah rebah saat dini hari yang terlelap.
Sebaiknya anak-anak muda itu, berpaling kepada apa yang dikemukakan
oleh Ernest Hemmingway "Dunia ini penuh keindahan dan membutuhkan perjuangan". Saya sepakat dengan yang
kedua tapi bila hanya untuk mendaki gunung apa sebenarnya yang akan
diperjuangkan? Dan tentang apa yang mesti disepakati?
Pergaulan dengan nuansa romantik
dan keindahan gunung, tak menyediakan sedikit pun makna, tujuan dan
pertanggungjawaban bahkan tak ada pertanyaan. Kalau untuk sebuah makna juga
nihil dan tiada tujuan. Maka bila anak-anak muda itu, akhirnya turun gunung.
Pasti akan lenyap tidak tersisa di kaki langit.
Mereka bukan lagi siapa-siapa dan tak ada yang
merasa kehilangan untuk kepergian yang letih. Dengan demikian sudah tertutup
segala pertanyaan. Begitu juga tanda seru pertanggungjawaban untuk masa muda
yang sia-sia waktu.
No comments:
Post a Comment